Lahan pertanian di Indonesia banyak yang mengalami
degradasi, ditunjukkan dengan semakin menurunnya kandungan unsur hara, dan
bahan organik dalam tanah, serta meningkatnya pencemaran lahan pertanian karena
limbah pestisida. Menurut Nugroho
(2005), degradasi lahan pertanian terjadi karena pengelolaan lahan yang tidak
tepat sehingga menyebabkan jumlah lahan kritis di Indonesia semakin bertambah
banyak. Luas lahan pertanian kritis di
luar kawasan hutan mencapai 18 juta hektar pada tahun 1992, dan meningkat
menjadi 25 juta hektar pada tahun 2005. Menurut
Suntoro (2006), pengelolaan lahan yang kurang tepat telah mengubah fungsi tanah
sebagai ekosistem mikroorganisme tanah. Penggunaan pestisida dalam kurun waktu yang panjang berdampak
pada kehidupan biota tanah. Pupuk kimia tertentu yang
berkonsentrasi tinggi dalam waktu yang panjang menyebabkan terjadi penurunan
kesuburan tanah karena kekurangan unsur hara lainnya terutama unsur hara mikro
dan bahan organik tanah. Sekitar 60% areal sawah di Jawa mempunyai kandungan
bahan organik kurang dari 1%, sedangkan sistem pertanian dapat berkelanjutan
apabila kandungan bahan organik lebih dari 2 %. Pramono (2001 dalam Suntoro, 2006) menyatakan, bahwa hasil
analisis sampel tanah dari berbagai daerah sentra produksi padi di Jawa Tengah
seperti di Kab. Grobogan, Kab. Sragen, Kab. Batang dan Kab. Sukoharjo
menunjukkan hal yang sama, bahwa rata-rata kandungan C-organik tanah berada
dibawah 2%.
Permasalahan degradasi lahan
dapat dikendalikan dengan penerapan pengelolaan lahan secara berkelanjutan
melalui pemanfaatan potensi bahan organik yang berasal dari lingkungan sekitar.
Sumber bahan organik dapat berasal dari sisa tanaman, pupuk kandang, serta limbah
organik rumah tangga. Suntoro (2006);
Atmaja & Suwastika (2007) menyatakan, bahwa pupuk organik mempunyai
kelebihan antara lain meningkatkan kesuburan kimia, fisik, dan biologi tanah,
serta mengandung zat pengatur tumbuh yang penting untuk pertumbuhan tanaman. Penggunaan pupuk cair dengan memanfaatkan
jenis mikroorganisme lokal (MOL) menjadi alternatif penunjang kebutuhan unsur hara
dalam tanah. Menurut Purwasasmita (2009), larutan MOL (mikroorganisme lokal)
adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan dasar berbagai sumber daya yang
tersedia. Larutan MOL mengandung unsur hara makro, mikro, dan mengandung
mikroorganisme yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang
pertumbuhan, dan agen pengendali hama dan penyakit tanaman sehingga baik
digunakan sebagai dekomposer, pupuk hayati, dan pestisida organik.
Menurut Hadinata (2008), bahan utama dalam
pembuatan MOL terdiri dari tiga komponen antara lain : (1) karbohidrat berasal
dari air cucian beras, nasi basi, singkong, kentang, gandum, rebung, rumput
gajah, dan daun gamal; (2) glukosa dari gula merah, cairan gula pasir, dan air
kelapa; (3) sumber mikroorganisme berasal dari keong mas, kulit buah-buahan, air
kencing, dan terasi. Pembuatan MOL dilakukan dengan memanfaatkan daun gamal
dikombinasikan dengan air kelapa sebagai sumber glukosa, dan urin sapi sebagai
sumber mikroorganisme. Pemanfaatan daun gamal sebagai bahan baku dalam penelitian
karena tanaman gamal (Gliricidia sepium)
merupakan salah satu jenis tanaman leguminoceae dengan kandungan unsur hara
yang tinggi.
Purwanto (2007) menguraikan gamal yang berumur satu tahun
mengandung 3-6% N; 0,31 % P; 0,77% K; 15-30% serat kasar; dan 10% abu K. Berdasarkan hasil penelitian Sutari (2009), kandungan
unsur hara yang terdapat dalam larutan MOL daun gamal lebih tinggi daripada
larutan MOL dengan bahan dasar rebung, dan
rumput gajah. Kandungan unsur hara yang
terdapat dalam larutan bio–urine daun
gamal terdiri dari 2,8 % N; 48,11 mg L-1 P; 14,469 mg L-1 K; 520
mg L-1 S; 48,5 mg L-1
Ca; 224 mg L-1 Mg; 125 mg L-1 Na; 3,75 mg L-1
Fe; 54,60 mg L-1 Mn; 0,83 mg L-1 Zn; 0,241 mg L-1
Cu, dan 7455 mg L-1 Cl.
Air kelapa merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme selama proses fermentasi karena air kelapa mengandung 7,27%
karbohidrat; 0,29% protein; beberapa mineral antara lain 312 mg L-1 kalium; 30 mg L-1
magnesium; 0,1 mg L-1 besi; 37 mg L-1 fosfor; 24 mg L-1
belerang; dan 183 mg L-1 klor (Budiyanto, 2002). Urin sapi dimanfaatkan sebagai sumber
mikroorganisme dalam pembuatan MOL, karena kotoran ternak mengandung
mikroorganisme selulolitik yang membantu proses pencernaan. Menurut Wanapat (2001 dalam Wahyudi, 2009), bakteri dan jamur lignoselulolitik memiliki
peran penting dalam proses perombakan pakan ternak dalam bentuk selulosa di
dalam rumen. Populasi mikroorganisme selulolitik berkembang dengan baik pada
ruminansia yang diberi pakan utama berupa hijauan dengan serat yang tinggi. Menurut Lingga
(1991 dalam Syaifudin, 2010), kotoran
ternak sapi cair memiliki kandungan unsur hara yang lebih tinggi daripada
kotoran ternak sapi padat. Urin sapi mengandung 1,00% N; 0,50% P, dan 1,50% K
sedangkan kotoran sapi padat mengandung 0,14% N; 0,20% P, dan 0,10% K.
Faktor-faktor yang berperan penting dalam proses
fermentasi antara lain media fermentasi,
kadar bahan baku atau substrat, pH, temperatur, waktu, bentuk dan sifat
mikroorganisme yang aktif di dalam proses fermentasi, dan rasio C/N dalam bahan
(Suriawiria,1996; Hidayat, 2006). Mikroorganisme dalam larutan MOL melakukan
perombakan terhadap bahan organik yang terdapat dalam MOL sehingga terbentuk
senyawa yang lebih sederhana. Menurut
Hidayat (2006), fermentasi merupakan perubahan kimia
beberapa enzim dengan memanfaatkan bakteri dan jamur sebagai dekomposer.
Perubahan kimia dari fermentasi meliputi
proses pengasaman, dan dekomposisi gula menjadi alkohol dan karbondioksida, serta
dekomposisi senyawa organik. Suriawiria (1996) menyatakan
bahwa proses pengomposan alami
membutuhkan waktu yang sangat lama, antara 6 bulan hingga 12 bulan, sampai
bahan organik tersebut benar-benar tersedia bagi tanaman. Penggunaan
mikroorganisme dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan
menjadi beberapa minggu. Menurut Lukitaningsih (2010), mikroorganisme mampu
mempercepat proses pengomposan menjadi sekitar
2-3 minggu. Hidayat (2006) menyatakan, bahwa lama fermentasi berkisar
4-14 hari, lama fermentasi yang
disarankan adalah 14 hari karena bahan organik telah mengalami proses
dekomposisi.
Berdasarkan hasil penelitian Sutari (2009),
pembuatan MOL starter dilakukan dengan proses fermentasi daun gamal dan air
kelapa dengan konsentrasi 250 g L-1 air kelapa. Perlakuan
menggunakan bio-urine daun gamal menunjukkan
hasil yang paling baik pada pertumbuhan tanaman sawi dibandingkan dengan bio-urine rebung dan bio-urine rumput gajah. Penggunaan MOL sangat murah dan efisien karena
larutan MOL menggunakan bahan alami yang terdapat di lingkungan
sekitar, serta proses pembuatannya yang sederhana. Bahan–bahan yang terdiri dari daun gamal,
urin sapi, dan air kelapa dimasukkan dalam wadah tertutup, dan difermentasi
selama beberapa minggu, setelah itu larutan MOL dapat digunakan sebagai aktivator
dalam pembuatan pupuk kompos atau dapat langsung digunakan sebagai pupuk cair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar